Sabtu, 14 Maret 2015

PESONA KEINDAHAN KAMPUNG ETNIS SURABAYA

Indahnya Kampung Etnis di Surabaya


Warna-Warni Kampung Arab

Di Surabaya Utara ada banyak kampung tua, khas, dan bersejarah. Di antaranya, Kampung Arab, Kampung Bubutan, dan Kampung Pecinan. Setiap kampung itu memiliki keunikan dan cerita. Sangat sayang kalau dilewatkan.

SEBUT saja nama Kampung Arab. Maka, warga kota ini mesti tertuju pada kawasan Ampel dan sekitarnya. Kampung Arab merupakan salah satu kampung tua di metropolis. Hingga kini, masih ditemui bangunan lawas di kampung wilayah Surabaya Utara ini. Beberapa di antaranya tertulis 1810.
Warga di kawasan Ampel memang didominasi warga keturunan Arab. Dari total penduduk 22.023 jiwa atau 5.161 kepala keluarga (KK), warga keturunan Arab mencapai 60 persen atau sekitar 13.214 jiwa. Lalu 40 persen sisanya warga keturunan campuran. Ada Tionghoa, Madura, dan Jawa.
Selain bermukim di Kelurahan Ampel, Kecamatan Semampir, banyak juga warga keturunan Arab tersebar di kawasan lain. Di antaraya, Jalan Kalimas Udik, Jalan Panggung, dan Jalan Nyamplungan, yang ikut Kecamatan Pabean Cantian. Namun, warga keturunan Arab itu paling banyak berada di kawasan Ampel.
Menelusuri kampung-kampung Arab tersebut sungguh terdapat nuansa eksotika tersendiri. Selain bisa menikmati sisa-sisa bangunan berarsitektur kuno dan beberapa bangunan cagar budaya, kita juga bisa merasakan kelezatan makanan khas Timur Tengah. Warna-warni tradisi warga kampung hingga kini masih lestari.
Umar Al Askari, salah satu tokoh masyarakat warga keturunan Arab, mengatakan, sejauh ini warga masih memegang kebudayaan warisan leluhur. Di antaranya, azzumah, wat-watan, hingga prosesi pernikahan dari warga Arab sendiri. ”Itu warisan nenek moyang yang masih kami lakukan,” ujarnya.
Azzumah, misalnya. Budaya tersebut berasal dari Timur Tengah, yakni berasal dari Yaman. Azzumah merupakan suatu adat yang berarti makan-makan bersama. Biasanya acara ini dilakukan selepas salat Jumat. ”Uniknya, acara ini tidak menggunakan undangan jika mau mengadakan makan bersama. Jadi, sistemnya getok tular ke warga,” papar Umar.
Namun, menurut Umar, budaya azzumah biasanya lebih banyak dilakukan warga yang memiliki materi relatif berlebih. Sebab, menyelenggarakan acara seperti itu butuh biaya tidak sedikit. Paling tidak, tuan rumah harus menyediakan dana sekitar Rp 5 juta untuk jamuan makan. ”Itu paling sedikit. Yang jelas, bergantung jenis makanannya,” kata Umar.
Sedangkan tradisi wat-watan merupakan acara unjung-unjung atau silaturahmi biasa antarwarga. Budaya ini juga dilakukan selepas salat Jumat.
Ada 21 Jenis Makanan Khas
Roti maryam selama ini sudah dikenal sebagai maskot makanan khas di Kampung Arab. Padahal, selain roti serta gulai maryam, ada banyak makanan khas lain. Sebut saja makanan sambosa. Bentuknya segitiga dengan kulit menyerupai pastel. Namun, isinya berbeda. Kalau pastel berisi telur, wortel, dan kentang, sambosa berisi daging sapi atau kambing yang dicampur bawang.
Soal rasa, sambosa jauh berbeda dengan pastel. Dalam sambosa tidak cuma ada rasa daging kambing atau sapi. Dominasi rasa bumbu khusus ala Arab yang kuat menjadi ciri utama makanan ini. Rasa gurih dan pedas juga terasa makin nendang.
Tak sulit menemukan sambosa di kawasan Kampung Arab. Hampir seluruh toko makanan menyajikan makanan dengan harga sekitar Rp 3 ribu itu. Namun, jangan mencari sambosa selepas pukul 11.00. Hampir dipastikan sudah habis.
Muhammad Ali, staf Kelurahan Ampel, mengatakan, sambosa memang salah satu makanan favorit dari 21 item makanan khas Kampung Arab. Hampir setiap hari warga memburu makanan itu. Tidak heran bila sambosa kini menjadi salah satu sumber penghasilan warga setempat. ”Pertama makan mungkin terasa aneh,” ungkapnya.
M. Husni, warga kampung Arab, menambahkan, seluruh rasa makanan Kampung Arab memang khas. Kuncinya terletak pada penggunaan minyak unta (samin) dan rempah-rempah khas Arab (kapulaga) yang langsung diimpor dari Arab. Samin berfungsi menjadi minyak goreng saat memasak. Kapulaga sebagai pemberi rasa panas atau pedas.
Soal teknis dan waktu pembuatan, makanan khas Ampel juga memiliki makna sendiri. Seperti bubur gandum yang hanya dibuat tiap Jumat, atau bubur hariza yang hanya ada satu tahun sekali. ”Karena Jumat kan banyak peziarah. Sedangkan bubur hariza khusus untuk memperingati meninggalnya habib-habib di sini,” terang Husni.
Satu lagi yang unik dan khas dari makanan di Kampung Arab adalah ukurannya. Rata-rata makanannya berukuran jumbo. Seperti pukis mangkok yang berukuran sekepalan tangan orang dewasa. Dengan bentuk menyerupai kepala orang bertopi bundar, pukis mangkok tak sekadar mengganjal perut yang keroncongan. ”Makan satu kali dijamin kenyang,” ungkapnya. (edw/fuz/hud)

Mehndi Penanda Telah Menikah

SALAH satu tradisi yang masih dipertahankan warga keturunan Arab di Kampung Arab adalah saat proses pernikahan. Sampai saat ini mereka masih mempertahankan tradisi melukis tangan dan kaki pengantin perempuan. Seni lukis khas itu disebut mehndi. Tapi, ada juga yang menamakannya mehendi. Sering juga disebut pacar tangan atau hena.
Kemarin (28/1), Jawa Pos melihat tradisi mehndi yang dilakukan pasangan muda Usamah-Mawaddah di Kampung Arab. ”Prosesnya sangat cepat. Pelukisnya tidak pakai pelat atau sketsa,” ujar Mawaddah. Dalam pembuatannya, sang pelukis hanya menggunakan contong plastik yang bagian ujungnya dilubangi. Karena mehndi langsung dilukiskan itulah, pelukis harus memiliki sense of art yang tinggi sehingga bisa cekatan saat menggoreskan hena.
Dalam tradisi Arab dan India itu, biasanya calon pengantin perempuan diberi menhdi dari bagian tangan hingga siku. Untuk bagian kaki dilukis hingga lutut. ”Sampai seminggu dibiarkan begitu terus. Ini sekaligus penanda kalau telah menjadi pengantin baru,” imbuh Mawaddah.
Motifnya pun sangat beragam seperti bunga, dedaunan, kupu-kupu, motif etnik, dan sejenisnya. Sifat noda itu katanya hanya sementara. Tidak menutupi pori-pori sehingga aman dan perempuan bebas beribadah.
Keunikan lain ada pada proses ijab kabul. Saat proses sakral itu berlangsung, pengantin pria dan wanita tidak berada di satu tempat. Setelah dinyatakan sah, kedua mempelai baru dipertemukan. ”Berbeda dengan proses pada umumnya yang pengantin wanita ada di sebelah pria saat ijab kabul diucapkan,” tambah Usamah.
Umar Al Askari, tokoh masyarakat di Kampung Arab, menambahkan, prosesi pernikahan memang terbilang unik. Mulai prosesi mengunjungi calon mempelai istri, misalnya. Pihak pria kadang mendapat ujian mental dari keluarga mempelai wanita. ”Ujian mentalnya berat sekali. Ada yang disuruh menggendong kambing, sambil dikalungi makanan seperti chiki itu,” kata Umar lantas tersenyum.
Gojlokan juga dilakukan dengan tujuan si mempelai pria tahan banting.”Pria itu menjadi imam. Jadi, harus tahan banting,” ujarnya. (dim/edw/hud)

Pemkot Jajaki Heritage Track

MESKI banyak bangunan di Kampung Arab, termasuk bangunan kuno dan tidak sedikit yang memiliki cerita sejarah, toh belum banyak yang masuk cagar budaya. Berdasarkan data Kelurahan Ampel, hanya ada lima yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya. Satu di antaranya Makam Sunan Ampel.
Memang bangunan-bangunan kuno di kawasan Kampung Arab itu terkesan belum tergarap. Bahkan, beberapa bangunan digunakan sebagai gudang. Kondisi bangunan juga tidak lagi terawat dengan maksimal. Dinding mengelupas, plafon hilang, cat memudar, hingga pintu pagar berkarat.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Pemkot Surabaya Wiwiek Hidayati juga menyayangkan kondisi tersebut. Sejak 2008, pemkot sebetulnya mulai menggiatkan wisata warisan budaya atau yang lebih dikenal dengan Surabaya Heritage Track (SHT). ”Tahun ini kami akan melakukan berbagai survei dan kajian di beberapa titik untuk membuka jalur wisata itu,” ujarnya.
Wiwiek mengakui, wisata SHT yang dimotori House of Sampoerna (HoS) kini menjadi wisata alternatif yang makin digemari warga. Potensi pasar tersebut direspons pemkot karena satu paket dengan pengembangan potensi warga. Untuk itu, tim Disbudpar akan mulai melakukan survei dan kajian di Kampung Arab pada tahun ini.
Bila memang berpotensi, pemkot akan mengintervensi pemeliharaan bangunan. Seperti saat HoS membuka jalur SHT untuk kali pertama pada dua tahun lalu. Intervensi itu, antara lain, memperbaiki infrastruktur, membersihkan dan mengoptimalkan bangunan-bangunan kuno. ”Kami akan berbicara dengan pemilik bangunan agar mendukung rencana tersebut,” lanjutnya.
Pembicaraan itu penting karena destinasi baru tidak akan berkembang tanpa partisipasi warga setempat. Dengan begitu, warga juga bisa bahu-membahu bersama pemkot guna menyiapkan jalur wisata baru. ”Ujung-ujungnya, warga sendiri yang menikmati hasilnya. Ini karena ekonomi baru bisa tumbuh setelah wilayah tersebut ramai dikunjungi,” jelasnya.
Dalam masa survei dan kajian, Wiwiek berharap warga ikut mempersiapkan wilayahnya. Khususnya warga yang tinggal di kawasan bangunan kuno. Paling tidak, mereka ikut merawat dan memperhatikan kebersihan.
Untuk penetapan sebuah bangunan masuk dalam cagar budaya, ada ketentuan tersendiri yang diatur dalam peraturan daerah. ”Prosesnya harus melalui kajian panjang,” kata mantan pegawai di bagian humas pemkot itu. (dim/hud)

:: BUBUTAN ::

Cikal Bakal dari Bubutan

Sebut saja nama Bubutan. Pasti nama kampung itu identik dengan sejarah dan perjuangan. Memang, banyak kalangan menyebut Kampung Bubutan termasuk salah satu kampung tua sebagai cikal bakal Kota Surabaya.

KAMPUNG Bubutan berada di Kelurahan Alun-Alun Contong. Tidak jauh dari Tugu Pahlawan. Dinamakan Bubutan konon karena sejak zaman dulu banyak warga di kampung itu yang mengembangkan usaha di bidang mesin bubut. Namun, versi lain menyebutkan, Bubutan berasal dari kata butotan yang berarti pintu gerbang.
Arsitektur bangunan-bangunan di Kampung Bubutan sangat kental dengan gaya kolonialisme Belanda, Arab, dan Tionghoa. Namun, masih terlihat adaptasi sentuhan Jawa. Meski banyak yang berusia lebih dari seabad, toh rumah-rumah di Kampung Bubutan itu masih orisinal.
Berjalan menyusuri perkampungan Bubutan memang cukup mengasyikkan. Tidak hanya wujud fisik bangunan ala kolonial Belanda, interior masing-masing rumah juga sangat unik. Benar-benar membawa nuansa tempo dulu bagi setiap orang yang mengunjungi.
Konon, beberapa kampung merupakan bentukan pihak keraton sebagai bagian dari fasilitas bagi kalangan istana. Tidak terkecuali Kampung Bubutan. Kala itu, Kampung Bubutan berada di bagian barat keraton. Bubutan termasuk gerbang yang menghubungkan antara Kampung Tumenggungan dengan keraton pada masa Adipati Surabaya itu, seorang tokoh legenda di ranah Surabaya zaman silam. Karena itulah, beberapa penulis mengindikasikan kata Bubutan tersebut lebih merupakan transliterasi dari nama butotan menjadi Bubutan.
Kawasan Alun-Alun Contong saat ini didominasi warga suku Jawa. Di kawasan seluas 64,7 hektare tersebut, sekitar 4 ribu jiwa merupakan warga suku Jawa atau sekitar 50 persen di antara total penduduk yang berjumlah 7.954 jiwa. Lalu, 30 persen lainnya merupakan warga keturunan Tionghoa. Sisanya, ada etnis Madura, Arab, serta India.
Persebaran penduduk di kawasan tersebut terbilang tidak merata. Hanya beberapa wilayah yang dipadati penduduk. Di antaranya, RW Gemblongan, Johar, dan Sulung. ”Sebab, sejak daerah ini berkembang menjadi perdagangan dan jasa, banyak rumah yang dialihfungsikan menjadi toko,” ujar Moch. Amin, lurah Alun-Alun Contong.
Dia menambahkan, perkembangan kawasan Alun-Alun Contong menjadi area perdagangan dan jasa mengakibatkan munculnya penduduk semu. Yakni, penduduk yang hanya tercatat sebagai warga, namun tidak berdomisili. Bahkan, dia memperkirakan penduduk riil tak sampai 50 persen. Di antara 7.954 jiwa, hanya sekitar 3 ribu yang menetap. ”Itu terlihat setiap ada pemungutan suara dalam pemilu,” ujarnya.
Menurut Amin, wilayahnya itu sekarang bak dua sisi mata uang berbeda. Pemandangan siang dan malam di kawasan Alun-Alun Contong, sungguh jomplang. Jika siang begitu dinamis dan semarak dengan aktivitas, saat malam seolah mati suri. ”Ya paling hanya di kampung-kampung itu tadi yang ramai,” imbuhnya. (fuz/dim/hud)

Sebagian Telah Berubah Wajah

KARENA termasuk kampung tua, wajar di kawasan ini banyak bangunan yang memiliki nilai sejarah. Beberapa di antaranya sudah ditetapkan pemkot sebagai situs dan bangunan cagar budaya. Tapi, beberapa di antara bangunan tua di Bubutan itu kini telah berubah wajah.
Lurah Alun-Alun Contong Moch. Amin mengakui, beberapa bangunan bersejarah di wilayahnya memang makin tergerus oleh perubahan. Tak hanya sekadar merombak, beberapa bangunan tua itu juga dibongkar total. Pembangunan biasanya dilakukan satu paket dengan pembuatan gedung baru.
”Jika pengembang sedang membangun gedung baru, tanah di belakangnya kerap dialihfungsikan juga menjadi gudang,” ujarnya.
Terlebih, lanjut Amin, kawasan Bubutan termasuk salah satu sentra perdagangan dan jasa. ”Seperti di Baliwerti. Dulu itu merupakan rumah kuno satu lantai. Sekarang sudah berubah menjadi pertokoan bertingkat dan menggunakan rumah di belakangnya sebagai gudang,” katanya.
Amin mengatakan, kelurahan tidak bisa berbuat banyak. Meski aturan sudah ditetapkan, kelurahan tetap tidak memiliki kewenangan melarang. Paling-paling hanya mengawasi. ”Padahal, mengawasi bangunan yang masuk bangunan bersejarah itu relatif berat. Sebab, jumlahnya banyak. Namun, keputusan terakhir tetap pada pemkot,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Pemkot Surabaya Wiwiek Hidayati mengatakan, selama ini timnya sudah bergerak maksimal untuk mengawasi titik-titik cagar budaya. ”Bangunan di Surabaya itu sangat banyak. Tugas tim juga sangat luar biasa. Karena itu, kami berharap laporan dari tingkat bawah,” jelasnya.
Dia mengelak jika aturan tentang cagar budaya dinyatakan lemah sehingga ada beberapa yang berubah fungsi. Wiwiek menyatakan, sebelum bangunan baru berdiri, pemiliknya harus mendapat izin untuk merobohkan bangunan. Peraturan itu meliputi bangunan yang sudah masuk cagar budaya maupun yang diduga masuk cagar budaya. ”Kalau ada yang nonprosedural, harus disemprit,” tegasnya.
Ketua PC GP Ansor Surabaya Suparto juga berharap agar pemkot berupaya membentengi bangunan-bangunan yang bersejarah. Terutama di Kampung Bubutan. Sebab, di kampung ini juga dulu tercetus resolusi jihad sebelum tumpah pertempuran 10 November 1945. ”Di Bubutan ini pula, kantor Ansor pertama ada,” kata Suparto ditemui di kantor PC NU Surabaya di Bubutan VI/2 kemarin. (dim/fuz/hud)

Rumah Bersejarah NU Itu Jadi Kos-kosan

SETIAP 31 Januari, Nahdlatul Ulama (NU) memperingati hari lahir (harlah). Tahun ini merupakan harlah ke-84 NU. Salah satu bagian penting dari sejarah dan pergerakan ormas terbesar di Indonesia itu tidak bisa dilepaskan dari Kampung Bubutan.
Adalah rumah KH Ridwan Abdullah di Bubutan VI/20 yang menjadi tempat pertemuan untuk meresmikan balai Hoof Bistuur Nahdlatoel Oelama (kini PB NU). Pertemuan tersebut diikuti para kiai besar waktu itu, seperti KH Hasyim Asyari. Di rumah itu pula, Kiai Ridwan menciptakan lambang NU.
Meski beberapa bagian telah mengalami perbaikan, hingga kini rumah bersejarah itu masih mempertahankan arsitekturnya yang kuno. Daun jendela dan kusen pintu tinggi khas zaman kolonial tetap terpelihara. Begitu juga teralis besi bermotif lawas yang menghiasi jendela.
Tidak jelas rumah itu kini menjadi hak milik siapa. Namun, sangat mungkin masih keluarga besar keturunan Kiai Ridwan. Yang jelas, rumah di Bubutan VI/20 tersebut kini menjadi kos-kosan. Itu bisa dilihat dari tulisan di pintu depan rumah, ”Terima kos puteri, hubungi…”
Menurut Ketua PC NU Surabaya Syaiful Chalim, rumah di Bubutan itu dulu sangat luas dan berfungsi sebagai paviliun. Namun, sejalan perkembangan kampung, kini rumah Bubutan tersebut sudah terpecah-pecah. ”Kalau tidak salah, di rumah nomor 18 lambang itu diciptakan kakek saya,” kata salah seorang cucu Kiai Ridwan.
Memang, saat ini rumah di Bubutan VI/20 itu tinggal satu petak. Di sampingnya telah berdiri berbagai bangunan. Namun, kata Syaiful, rumah tersebut masih dihuni anggota keluarga. Maklum, rumah-rumah itu merupakan warisan yang telah dibagi-bagi Kiai Ridwan sebelum meninggal dunia.
Sejak itu, sejarah kepemilikan rumah makin dinamis. Apalagi, saat itu anggota keluarga sama sekali tidak pernah berpikir bahwa NU bakal menjadi ormas terbesar sejak didirikan pada 31 Januari 1926. Karena itu, rumah di Bubutan tersebut pernah disewakan kepada orang lain di luar lingkaran keluarga.
Lambat laun, lanjut Syaiful, keluarga khawatir masa depan rumah tersebut. Sebab, para penghuni sering tidak memedulikan kebersihan dan kondisi rumah. ”Melihat itu, keluarga memutuskan untuk tidak menyewakan lagi,” jelasnya.
Perjalanan kepemilikan rumah tidak berhenti sampai di situ. Karena para penerima hak waris kebanyakan sudah memiliki rumah, rumah itu diputuskan untuk dijual. ”Tapi, tetap dijual ke pihak keluarga. Jika dirunut, pemilik rumah sekarang masih memiliki hubungan keluarga, meski saudara jauh,” papar Syaiful.
Karena masih keluarga, dia tidak menyoal penggunaan rumah tersebut. Tapi, pihaknya berharap agar pemilik rumah tetap menjaga orisinalitas bangunan itu. Sebab, rumah tersebut tidak bisa dilepaskan dari sejarah NU. (dim/hud)

:: PECINAN ::

Jaga Tradisi di Pecinan

Di kawasan Surabaya Utara juga tersebar kampung-kampung yang dihuni warga keturunan Tionghoa. Kampung-kampung itu juga ada sejak ratusan tahun silam. Sampai saat ini geliat Kampung Pecinan tetap terasa.

KESIBUKAN terlihat di sebuah rumah tua di Jalan Karet. Rumah itu kabarnya peninggalan keluarga Han Bwee Koo, seorang tokoh yang berpengaruh terhadap arus migrasi warga Tionghoa ke Surabaya masa silam. Karno Utomo, pengelola rumah itu, terlihat membersihkan dengan teliti perabot rumah, termasuk altar untuk bersembahyang.
Berbagai peralatan dibersihkan dan ditata rapi di atas meja persembahyangan. Mulai lilin, hio, fuuk (pajangan dinding, Red) hingga papan nama leluhur yang disusun bertingkat. ”Pembersihan total seperti ini memang untuk menyambut Imlek,” kata Karno yang dipercaya menjaga rumah itu sejak 1956.
Bersih-bersih itu harus dilakukan dengan cepat dan tepat karena rumah itu akan didatangi seluruh keturunan keluarga Han yang tersebar di Jawa Timur. ”Sudah generasi kedelapan. Karena itu, yang akan datang ke rumah ini sangat banyak,” ujar pria yang sudah ompong itu.
Jalan Karet merupakan salah satu sudut Kampung Pecinan di Surabaya. Di kawasan yang masuk Kelurahan Bongkaran ini sebagian besar warganya keturunan Tionghoa. Sama halnya kota-kota besar lain di Indonesia, sejak ratusan tahun lalu didatangi komunitas Tionghoa. Mereka mendiami lokasi tertentu. Karena itu, lokasinya disebut Pecinan.
Tentu saja mereka membawa serta tradisi, adat-istiadat, agama, serta kebudayaan. Rumah ibadah warga keturunan Tionghoa yang dikenal dengan kelenteng itu pun cukup banyak tersebar di Surabaya. Kelenteng-kelenteng itu seolah menjadi saksi keberadaan Kampung Pecinan tersebut sudah berlangsung ratusan tahun. Mereka kini seolah sudah menyatu dengan warga pribumi.
Pada momen-momen tertentu aktivitas khusus warga di kampung-kampung Pecinan terasa makin menggeliat. Apalagi ,menyongsong Imlek. Biasanya, puncak kemeriahan makin terasa sejak seminggu sebelum hari H. ”Biasanya diawali dengan memasang lampion di depan rumah,” ujar Gunawan Djaya Saputra, salah seorang warga keturunan Tionghoa yang tinggal di belakang Kelenteng Boen Bio.
Suasana Tiongkok makin kental saat memasuki H-1 atau 13 Februari malam. Keluarga yang masih memegang teguh tradisi biasanya menggelar tuanyuan atau makan-makan bersama keluarga. Sedangkan pada perayaan Imlek, kunjungan ke rumah keluarga atau bai nian menjadi aktivitas pasti warga keturunan sembari mengucapkan Gong Xi Fat Cai dan memberikan hong bao atau angpao kepada sanak saudara.
Beberapa kelenteng di Kampung Pecinan juga sudah banyak yang siap menyambut Imlek. ”Tempat ibadah ini menjadi penyambung dengan para leluhur di Tiongkok. Menurut kepercayaan warga Tionghoa, leluhur tidak bisa dilupakan begitu saja,” ungkap Kwee Ping Hwie, guru agama Konghucu di Kelenteng Boen Bio.
Kwee Ping mengatakan, semangat Imlek adalah memperlihatkan hati yang segar dan baru. Karena itu, membersihkan rumah menjadi salah satu hal wajib dalam menyambut Imlek. Termasuk menggunakan pakaian atau warna ceria untuk menyambut berkah tahun baru.
Sementara itu, Ketua Surabaya Heritage Freddy H. Istanto mengatakan, kawasan pecinan saat ini memang mengalami keterlambatan proses regenerasi. ”Sekarang sudah banyak warga Tionghoa yang muda-muda menempati wilayah barat Surabaya. Yang tinggal di kawasan Pecinan itu hanya yang tua-tua saja,” ujarnya.
Dosen di Universitas Ciputra itu menyatakan, saat ini kawasan Pecinan butuh terobosan baru mengenai pengelolaan, khususnya dari warga keturunan Tionghoa sendiri. ”Hal itu yang saat ini menjadi pemikiran bersama agar kebudayaan di kawasan Pecinan ini tetap terjaga,” kata bapak dua anak itu. (dim/edw/hud)

Berharap Kya-Kya Bisa Bangkit Lagi

KAMPUNG Pecinan tersebar di lima kawasan. Yakni, Karet, Waspada, Kapasan, Slompretan, dan Kembang Jepun. Namun, Kembang Jepun terasa lebih akrab disebut Kampung Pecinan. Jalan sepanjang 700 meter tersebut juga dianggap kawasan yang paling bersejarah bagi perkembangan warga keturunan Tionghoa di Surabaya.
Nama Kembang Jepun diberikan konon ketika tentara Jepang menduduki kawasan yang tidak jauh dari Jembatan Merah itu saat warga Tiongkok ekspansi. Hal tersebut lantas memunculkan wanita-wanita penghibur yang menjadi kembang bagi para tentara Jepang. Jepun merupakan sebutan Jepang.
Hingga kini, bangunan di Jalan Kembang Jepun sebagian besar masih orisinal. Banyak bangunan pertokoan di kawasan itu yang dipengaruhi arsitektur Tionghoa. Di jalan tersebut, ada satu tempat yang dulu menjadi jujukan warga Tionghoa untuk mengadu. Tepatnya, di atas bangunan sebuah diler sepeda motor.
Gedung itu termasuk satu di antara cagar budaya di Surabaya Utara. Sepintas bangunan kuno tersebut tidak terlihat. Dari jalan hanya tampak atap dengan dua kepala naga. Tapi, kalau dilihat dari dekat, ternyata bangunan itu berupa ruang luas seperti pendapa. ”Ya, bangunan itu dulu merupakan setengah kedutaan bagi para Hwa Kiok. Kalau ada masalah, pasti lari ke sana,” Liem Ouw Yien, salah seorang tokoh warga Tionghoa.
Aktivitas perdagangan membuat beberapa Kampung Pecinan begitu padat saat siang. Termasuk di kawasan kembang Jepun. Namun, kondisi berbalik 180 derajat bila malam tiba. Kampung Pecinan lebih mirip kota tua tak berpenghuni. ”Saiki Kembang Jepun wis mati, gak koyok biyen (Sekarang Kembang Jepun sudah mati, tidak seperti dulu, Red),” kata Noerditoyo, warga yang tinggal di sekitar Jalan Slompretan.
Pria 53 tahun itu sudah lima tahun berjualan di sepanjang jalan tersebut. Bahkan, dia termasuk pedagang yang meramaikan jalanan Kya-Kya. ”Sekarang semua pedagang sudah pindah ke kawasan Kenjeran. Tidak ada lagi pedagang yang berjualan di Kya-Kya,” ujarnya.
Padahal, lanjut dia, Kya-Kya merupakan salah satu wadah bagi masyarakat Tionghoa untuk berkumpul dan bercengkerama. Selain itu, tempat tersebut tersebut merupakan salah satu tempat bagi warga Tionghoa untuk tuan yuan. Artinya, berkumpul untuk makan bersama sesama teman, keluarga, dan saudara. (fuz/edw/hud)

Sering Jadi Objek Fotografi

JALAN Gula mulai pukul 09.00 kemarin (31/1) mendadak riuh. Puluhan orang berkumpul sambil menenteng kamera. Mereka adalah kelompok penggemar fotografi Himmarfi Stikosa AWS dan Cedrix Dance Group yang sedang berburu foto.
Alasan utama mereka menggunakan tempat tersebut ialah bangunan tua di kawasan itu eksotis. Pilihan mereka memang tidak salah. Sebab, di sepanjang Jalan Karet banyak terdapat bangunan penginggalan kolonial dengan arsitektur khas Tiongkok.
Gang-gang di salah satu sudut Kampung Pecinan itu juga demikian khas. Sebut saja Jalan Gula atau Jalan Cokelat. Hunian dengan pilar, jendela, dan pintu berukuran besar plus ornamen Tiongkok seperti huruf Mandarin dan kaligrafi seolah menjadi bagian penting setiap rumah. Karena itu, tidak heran kalau saat ini kawasan tersebut menjadi jujukan. Termasuk, menjadi objek fotografi. Entah itu untuk foto prewedding atau sekadar meluangkan hobi.
”Lokasi di kawasan sini memang sangat dikenal dengan nuansa sejarah bangunan tua yang punya nilai seni untuk fotografi,” kata Devi Rahardjo, owner dari Cedrix Dance Group.
Devi menilai, berbeda dengan kawasan di Surabaya lain, Jalan Karet terbilang memiliki daya tarik tersendiri. Bangunan-bangunannya memiliki kesan seperti bangunan-bangunan di Eropa. ”Karena itu, kami sering ambil lokasi foto di kawasan sini,” ujar perempuan 22 tahun tersebut.
Heru Wongso Negoro, salah seorang fotografer yang ikut dalam acara itu, menyatakan bahwa hasil foto di kawasan tersebut memang terbilang eksotis. ”Teman sesama fotografer sampai penasaran dan bertanya, apakah saya mengambil lokasi di Eropa?” ujarnya sambil tersenyum.
Heru dan sejumlah fotografer Cedrix Dance Group berharap agar Kampung Pecinan di Jalan Karet tetap eksotis, tidak harus direnovasi. ”Saya kira, gedungnya biarkan begini. Yang perlu dibenahi adalah kebersihannya,” ujar Heru yang diamini fotografer lain.
Lurang Bongkaran Cristiono mengatakan, pihaknya akan tetap berusaha mengawasi bangunan-bangunan tua di wilayahnya. ”Kami akan tetap berusaha untuk ikut mempertahankan. Jarang di Surabaya ada lokasi seperti di Kampung Pecinan ini,” ujarnya. (edw/dim/hud)

Sumber : http://dhimasginanjar.com/eksotika-kampung-kampung-tua-di-surabaya-utara/

0 komentar: